Viralitas Media Sosial dalam Kasus Mario Dandy


 

 Di awal tahun 2023, publik Indonesia dihebohkan oleh sebuah video singkat yang mendadak menjadi viral di WhatsApp. Dalam rekaman tersebut, tampak seorang remaja Cristalino David Ozora Latumahina, dianiaya hingga tidak sadarkan diri di jalan oleh Mario Dandy Satriyo, anak seorang pejabat Ditjen Pajak. Video itu menjadi pemicu kemarahan masyarakat. Dalam waktu singkat, konten tersebut menyebar ke Twitter, TikTok, dan Instagram, sehingga menarik perhatian nasional. Sebagai mahasiswa yang aktif di media sosial, saya melihat bagaimana kasus ini tidak hanya menunjukkan kekerasan fisik, tetapi juga memicu perbincangan mengenai ketidakadilan sosial, keadilan dalam dunia digital, dan sisi negatif dari viralitas.

Awalnya, rekaman itu hanya beredar di grup WhatsApp warga yang tinggal dekat tempat kejadian. Namun, ketika seorang pengguna media sosial membagikannya di Twitter dengan kalimat, "Anak pejabat pajak aniaya anak orang kecil, sampai pingsan! ", video tersebut langsung menjadi viral. Publik merasa marah karena status Mario sebagai anak pejabat menciptakan kesan "orang dalam yang tak tersentuh hukum" suatu isu yang sangat sensitif di tengah banyaknya kasus korupsi dan ketimpangan sosial.

Pengguna internet mengungkapkan kehidupan mewah Mario melalui Instagram, gambar dengan mobil Ferrari, jam tangan yang harganya mencapai ratusan juta, serta perayaan di klub-klub mewah. Semua ini memperkuat pandangan bahwa masalah ini tidak hanya terkait dengan kekerasan individu, tetapi juga merupakan cerminan penyalahgunaan kekuasaan oleh elit. Dorongan dari masyarakat membuat kepolisian bergerak dengan segera. Sementara itu, sebelumnya, kasus-kasus serupa yang tidak mendapatkan perhatian media sering kali "hilang".

Di balik perdebatan yang ada, popularitas kasus ini menghasilkan dampak yang signifikan. Mario Dandy, yang semula hanya ditetapkan sebagai terdakwa, akhirnya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara pada Agustus 2023 proses hukum yang berlangsung relatif cepat untuk ukuran di Indonesia. Saya menganggap ini sebagai bukti bahwa tekanan dari media sosial dapat memaksa sistem peradilan untuk beroperasi dengan lebih transparan.

 Lebih dari itu, kasus ini menyadarkan banyak orang akan pentingnya memantau tindakan anak-anak pejabat. Tagar #UsutTuntasMarioDandy tidak hanya menuntut keadilan untuk David Ozora, tetapi juga mendorong reformasi yang mendasar dalam lembaga pemerintah.

Namun, di balik upaya mencari keadilan, saya melihat bagaimana fenomena viral justru menyakiti korban untuk kedua kalinya. Wajah David, yang seharusnya dilindungi oleh UU Perlindungan Anak, tersebar luas di platform TikTok dan Instagram. Banyak akun yang mengunggah video penganiayaan tersebut tanpa menyamarkan wajahnya, bahkan dengan komentar yang menyakitkan seperti, "Korban kok pasrah saja sih? " atau "Masa dipukuli sama anak sok jagoan gitu bisa kalah? ". Sungguh ironis, masyarakat yang awalnya mendukung David, malah menjadi pelaku victim-blaming.

Bukan hanya korban, keluarga Mario juga menjadi target. Netizen mengungkap alamat rumah orang tua Mario, menyebarkan foto-foto pribadi, dan menuduh ayahnya Rafael Alun Trisambodo terlibat dalam korupsi tanpa ada bukti yang jelas. Padahal, tidak ada hubungan antara kasus penganiayaan ini dan pekerjaan sang ayah. Akibatnya, baik keluarga David maupun Mario sama-sama mengalami trauma. Dalam sebuah wawancara dengan Kompas. com, pengacara David mengatakan bahwa keluarga korban sempat ragu untuk melapor ke polisi karena takut dihujat oleh netizen.

 Kasus Mario Dandy mengingatkan saya bahwa popularitas di media sosial berfungsi seperti sinyal yang membangunkan publik dari tidur, tetapi sinyal tersebut dapat menjadi mengganggu jika tidak ditangani dengan bijak. Saya teringat akan insiden serupa, seperti penganiayaan asisten rumah tangga di Tangerang (2021) atau kasus Jessica Wongso (2016). Pola yang sama terulang tanpa henti, media sosial dapat mengungkap ketidakadilan, tetapi juga menghantarkan pada budaya pembatalan yang merugikan. Bahkan, dalam kasus Mario, fokus media sosial membuat publik melupakan bahwa permasalahan ini tidak hanya sebatas "anak pejabat vs masyarakat biasa", tetapi juga melibatkan pola asuh orang tua, budaya perundungan di kalangan orang-orang berkuasa, serta kegagalan sistem dalam melindungi anak.

 Sebagai generasi yang tumbuh di zaman digital, saya berpikir bahwa kita perlu mengambil pelajaran dari kejadian ini. Media sosial seharusnya berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan dialog yang konstruktif, bukan hanya tempat untuk menjatuhkan vonis. Beberapa tindakan yang bisa diambil adalah:

     Platform media sosial perlu lebih aktif dalam menjaga rahasia identitas para korban. Penggunaan teknologi pengaburan wajah secara otomatis harus diterapkan pada konten yang berkaitan dengan kekerasan.

   Penting untuk meningkatkan edukasi mengenai literasi digital. Banyak pengguna internet yang tidak menyadari bahwa membagikan gambar wajah korban atau alamat pelaku merupakan pelanggaran terhadap UU ITE.

   Kerja sama antara aktivis, akademisi, serta pemerintah sangat diperlukan untuk mengarahkan viralitas menjadi bentuk advokasi yang terencana. 

Kasus Mario Dandy merupakan gambaran yang tidak jelas dari masyarakat digital kita, di satu pihak, kita dapat menunjukkan solidaritas untuk memperjuangkan mereka yang terpinggirkan, namun di pihak lain, kita dengan cepat terperangkap dalam semangat penghakiman secara kolektif. Sebagai seorang mahasiswa, saya berpendapat bahwa setiap “retweet”, “share”, atau komentar yang kita buat harus didasari oleh rasa tanggung jawab. Karena, di balik layar ponsel, terdapat kehidupan manusia yang bisa terluka akibat viralitas baik sebagai korban, pelaku, ataupun diri kita sendiri.


Penulis : Restu Koharudin Anwar

Garut, 27 Mei 2025



 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudut Pandang Media Sosial

PRESS RELEASE KULIAH UMUM MEDIA SEBAGAI PEMBENTUK OPINI PUBLIK