Viralitas Media Sosial dalam Kasus Mario Dandy
Awalnya, rekaman itu hanya beredar di grup WhatsApp warga yang tinggal dekat tempat kejadian. Namun, ketika seorang pengguna media sosial membagikannya di Twitter dengan kalimat, "Anak pejabat pajak aniaya anak orang kecil, sampai pingsan! ", video tersebut langsung menjadi viral. Publik merasa marah karena status Mario sebagai anak pejabat menciptakan kesan "orang dalam yang tak tersentuh hukum" suatu isu yang sangat sensitif di tengah banyaknya kasus korupsi dan ketimpangan sosial.
Pengguna internet mengungkapkan kehidupan mewah Mario melalui Instagram, gambar dengan mobil Ferrari, jam tangan yang harganya mencapai ratusan juta, serta perayaan di klub-klub mewah. Semua ini memperkuat pandangan bahwa masalah ini tidak hanya terkait dengan kekerasan individu, tetapi juga merupakan cerminan penyalahgunaan kekuasaan oleh elit. Dorongan dari masyarakat membuat kepolisian bergerak dengan segera. Sementara itu, sebelumnya, kasus-kasus serupa yang tidak mendapatkan perhatian media sering kali "hilang".
Di balik perdebatan yang ada, popularitas kasus ini
menghasilkan dampak yang signifikan. Mario Dandy, yang semula hanya ditetapkan
sebagai terdakwa, akhirnya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara pada Agustus 2023
proses hukum yang berlangsung relatif cepat untuk ukuran di Indonesia. Saya
menganggap ini sebagai bukti bahwa tekanan dari media sosial dapat memaksa
sistem peradilan untuk beroperasi dengan lebih transparan.
Namun, di balik upaya mencari keadilan, saya melihat bagaimana fenomena viral justru menyakiti korban untuk kedua kalinya. Wajah David, yang seharusnya dilindungi oleh UU Perlindungan Anak, tersebar luas di platform TikTok dan Instagram. Banyak akun yang mengunggah video penganiayaan tersebut tanpa menyamarkan wajahnya, bahkan dengan komentar yang menyakitkan seperti, "Korban kok pasrah saja sih? " atau "Masa dipukuli sama anak sok jagoan gitu bisa kalah? ". Sungguh ironis, masyarakat yang awalnya mendukung David, malah menjadi pelaku victim-blaming.
Bukan hanya korban, keluarga Mario juga menjadi target. Netizen mengungkap alamat rumah orang tua Mario, menyebarkan foto-foto pribadi, dan menuduh ayahnya Rafael Alun Trisambodo terlibat dalam korupsi tanpa ada bukti yang jelas. Padahal, tidak ada hubungan antara kasus penganiayaan ini dan pekerjaan sang ayah. Akibatnya, baik keluarga David maupun Mario sama-sama mengalami trauma. Dalam sebuah wawancara dengan Kompas. com, pengacara David mengatakan bahwa keluarga korban sempat ragu untuk melapor ke polisi karena takut dihujat oleh netizen.
● Platform
media sosial perlu lebih aktif dalam menjaga rahasia identitas para korban.
Penggunaan teknologi pengaburan wajah secara otomatis harus diterapkan pada
konten yang berkaitan dengan kekerasan.
● Penting
untuk meningkatkan edukasi mengenai literasi digital. Banyak pengguna internet
yang tidak menyadari bahwa membagikan gambar wajah korban atau alamat pelaku
merupakan pelanggaran terhadap UU ITE.
● Kerja sama antara aktivis, akademisi, serta pemerintah sangat diperlukan untuk mengarahkan viralitas menjadi bentuk advokasi yang terencana.
Kasus Mario Dandy merupakan gambaran yang tidak jelas dari
masyarakat digital kita, di satu pihak, kita dapat menunjukkan solidaritas
untuk memperjuangkan mereka yang terpinggirkan, namun di pihak lain, kita
dengan cepat terperangkap dalam semangat penghakiman secara kolektif. Sebagai
seorang mahasiswa, saya berpendapat bahwa setiap “retweet”, “share”, atau
komentar yang kita buat harus didasari oleh rasa tanggung jawab. Karena, di
balik layar ponsel, terdapat kehidupan manusia yang bisa terluka akibat
viralitas baik sebagai korban, pelaku, ataupun diri kita sendiri.
Penulis : Restu Koharudin Anwar
Garut, 27 Mei 2025
.png)

.png)
Komentar
Posting Komentar