Pemerintahan dalam Peluang dan Ancaman Konten Viral
Di era digital yang serba cepat,
media sosial telah menjadi salah satu sumber utama informasi masyarakat. Tak
hanya untuk berbagi kabar pribadi, platform seperti Twitter (sekarang X),
Facebook, TikTok, dan Instagram kini berperan besar dalam penyebaran
berita—termasuk berita yang melibatkan pejabat pemerintahan. Informasi yang
viral bisa terbentuk hanya dalam hitungan menit, menjadikan media sosial
sebagai kekuatan besar dalam membentuk opini publik.
Para pejabat pemerintahan semakin
menyadari potensi media sosial sebagai sarana komunikasi yang efektif. Banyak
di antara mereka yang kini memiliki akun resmi dan aktif mempublikasikan
kegiatan, program kerja, hingga pernyataan resmi secara langsung kepada
masyarakat tanpa melalui media tradisional. Hal ini memberikan kesan
keterbukaan dan kedekatan dengan publik yang sebelumnya sulit diwujudkan.
Namun, meski membawa banyak manfaat,
media sosial juga menjadi saluran yang rawan akan penyebaran informasi palsu
dan manipulatif. Kecepatan informasi yang tersebar tidak selalu diiringi dengan
akurasi. Berita yang belum terverifikasi atau konten yang telah disunting dapat
menyebabkan kesalahpahaman dan mencoreng reputasi pejabat dalam waktu singkat,
bahkan sebelum klarifikasi dilakukan.
Dalam jurnal ilmiah JPPUMA, Munzir
(2019) menyatakan bahwa media sosial berperan penting dalam proses komunikasi
politik di Indonesia. Media ini bukan hanya menjadi ruang kampanye, tetapi juga
sarana pendidikan politik yang membentuk opini masyarakat. Keberadaan media
sosial membuat para pejabat harus lebih berhati-hati dan strategis dalam setiap
penyampaian informasi, karena satu pernyataan dapat langsung menjadi viral dan
mendapat tanggapan dari ribuan orang.
Penelitian lain oleh Rampen, Boer,
dan Gultom (2024) dalam Jurnal Cendekia Ilmiah menunjukkan bahwa manipulasi
konten, seperti pengeditan video yang mengubah konteks asli, sering digunakan
untuk menyerang pejabat publik. Akibatnya, terjadi polarisasi di masyarakat dan
turunnya kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan
bahwa media sosial tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga bisa menjadi
alat politisasi yang tajam.
Ketika sebuah berita tentang pejabat
viral, reaksi masyarakat bisa sangat cepat dan luas. Dalam beberapa kasus, hal
ini bisa meningkatkan citra pejabat jika informasi yang tersebar menunjukkan
sisi positif atau empati dari sang tokoh. Namun sebaliknya, jika berita
tersebut bernada negatif, maka tekanan publik terhadap pejabat tersebut bisa
sangat besar, bahkan bisa berujung pada pemakzulan atau penurunan jabatan,
meski informasi awal belum tentu benar.
Penting bagi pejabat pemerintah
untuk memiliki tim komunikasi digital yang profesional. Tim ini berperan dalam
memantau perbincangan publik, menangkal disinformasi, serta menyusun narasi
tandingan jika terjadi kesalahan persepsi. Mereka juga bertugas memastikan
bahwa pesan-pesan pemerintah disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan
tidak memicu kontroversi.
Di sisi lain, masyarakat sebagai
konsumen informasi juga memiliki tanggung jawab. Edukasi literasi digital harus
terus digencarkan agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan tidak
mudah terpancing oleh hoaks. Tanpa partisipasi aktif dari masyarakat yang
cerdas digital, upaya menjaga ruang media sosial tetap sehat akan sangat sulit
diwujudkan.
Keterlibatan media sosial dalam
proses komunikasi pemerintahan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan
teknologi dan kebiasaan masyarakat yang semakin tergantung pada dunia digital.
Oleh karena itu, pejabat publik perlu menganggap media sosial bukan sekadar
platform promosi, tetapi sebagai ruang publik yang memerlukan strategi
komunikasi yang matang, transparan, dan etis.
Penyebaran kekurangan atau kelemahan
dalam kinerja mereka melalui media sosial. Ketakutan ini bukan tanpa alasan,
sebab platform digital memiliki daya sebar informasi yang sangat cepat dan
luas. Satu kesalahan kecil dalam pidato, keputusan, atau perilaku dapat
direkam, diunggah, dan segera viral dalam hitungan menit. Hal ini membuat
pejabat merasa seolah berada di bawah pengawasan publik setiap saat, tanpa
ruang untuk keliru.
Kecemasan tersebut diperparah oleh
fenomena "potongan konteks" di mana pernyataan atau tindakan pejabat
dipotong dari konteks aslinya, lalu dibagikan secara massif. Akibatnya,
persepsi publik bisa sangat negatif, walaupun maksud sebenarnya tidak seperti
yang ditampilkan. Ini membuat banyak pejabat menjadi sangat berhati-hati—bahkan
terlalu kaku—dalam berbicara di depan umum, yang justru dapat mengganggu
kelancaran komunikasi mereka dengan masyarakat.
Selain itu, masyarakat kini menaruh
perhatian besar pada kualitas komunikasi publik para pejabat. Mereka tidak
hanya menilai isi pesan, tetapi juga cara penyampaiannya. Bahasa yang terlalu
teknokratis, defensif, atau terkesan menggurui dapat memicu kecaman.
Sebaliknya, komunikasi yang transparan, empatik, dan responsif cenderung
diapresiasi. Hal ini menuntut pejabat untuk tidak hanya kompeten dalam
bidangnya, tetapi juga fasih dalam menyampaikan gagasan kepada masyarakat luas.
Reaksi masyarakat terhadap
komunikasi publik pejabat kini sangat cepat dan terbuka. Kolom komentar di
media sosial penuh dengan pendapat, kritik, bahkan satire. Rakyat tak segan
mengomentari gaya bicara, intonasi, gestur, hingga ekspresi wajah pejabat.
Kondisi ini menunjukkan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap figur publik
yang dinilai tidak hanya dari kinerjanya, tetapi juga dari cara mereka
berinteraksi dengan rakyat.
Kebijakan publik yang diumumkan
melalui media sosial pun tidak lepas dari sorotan. Dalam waktu singkat,
masyarakat bisa langsung menilai, membandingkan, bahkan menganalisis kebijakan
tersebut. Jika kebijakan dianggap tidak relevan, tidak adil, atau merugikan
kelompok tertentu, kritik keras pun akan segera muncul. Dalam beberapa kasus,
tekanan publik di media sosial bahkan mampu membuat pemerintah menarik kembali
atau merevisi kebijakan yang telah dikeluarkan.
Fenomena ini mendorong pejabat untuk
lebih bijaksana dalam membuat kebijakan dan menyampaikannya kepada publik.
Proses penyusunan kebijakan harus disertai dengan pemetaan dampak sosial,
komunikasi yang baik, dan keterlibatan publik. Jika tidak, gelombang penolakan
di media sosial bisa memicu krisis kepercayaan yang berdampak pada legitimasi
pejabat tersebut.
Bagi pejabat yang kurang adaptif
terhadap perubahan pola komunikasi publik, media sosial bisa menjadi sumber
stres dan ketidaknyamanan. Tidak sedikit pejabat yang akhirnya membatasi
interaksi digital atau menyerahkan sepenuhnya ke tim humas. Namun, langkah ini
berisiko menciptakan jarak antara pejabat dan publik, yang justru bisa
memperburuk persepsi masyarakat terhadap mereka.
Oleh karena itu, diperlukan upaya
peningkatan kapasitas komunikasi digital bagi pejabat negara. Pelatihan
mengenai strategi komunikasi krisis, penggunaan bahasa yang persuasif, hingga
etika berinteraksi di media sosial menjadi hal yang krusial. Ketika pejabat
mampu membangun komunikasi yang terbuka, jujur, dan terstruktur dengan baik,
maka kepercayaan publik pun akan tumbuh, sekalipun terdapat kekurangan dalam
kinerja mereka.
Penulis : Rubi Ana Syakinah
Garut, 27 Mei 2025
Referensi:
- Munzir, A. A. (2019). Beragam Peran Media Sosial dalam
Dunia Politik di Indonesia. JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial
Politik UMA, 7(2), 173–182. https://ojs.uma.ac.id/index.php/jppuma/article/view/2691
- Rampen, N. S., Boer, N., & Gultom, S. M. (2024). Kontroversi Mengenai Konten Berita Pejabat Publik di Media Sosial. J-CEKI: Jurnal Cendekia Ilmiah, 3(3), 775–781. https://ulilalbabinstitute.id/index.php/J-CEKI/article/view/3381
.png)

.png)
Komentar
Posting Komentar