Media Sosial dan Jurnalisme Warga: Suara Digital di Balik Viralitas dan Isu Lingkungan
- 1. Media
Sosial dan Fenomena Konten Viral: Antara Informasi dan Sensasi
Sebagai pengguna aktif media sosial, saya tidak bisa
memungkiri bahwa platform-platform seperti Instagram, TikTok, Twitter (X), dan
Facebook telah menjadi pusat perputaran informasi yang sangat cepat. Bahkan,
dalam hitungan menit saja, sebuah video lucu, berita mengejutkan, atau opini
kontroversial bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia. Fenomena viral ini
membuat saya semakin menyadari betapa besar peran media sosial dalam membentuk
arus informasi dan opini publik saat ini. Media sosial seolah menjadi jembatan
yang mempercepat proses penyebaran pesan, melampaui batasan ruang dan waktu
yang dulu dimiliki oleh media konvensional.
Namun, viralnya suatu konten tidak selalu berarti hal
tersebut bermanfaat. Ini yang menurut saya menarik untuk dicermati. Kadang,
konten viral tidak menyampaikan kebenaran, melainkan hanya sesuatu yang
mengejutkan, menghibur, atau bahkan kontroversial. Saya melihat bahwa media
sosial bekerja dengan logika algoritma apa yang menarik banyak perhatian akan
terus ditampilkan lebih luas lagi. Maka, di sinilah letak dilema etisnya:
apakah sesuatu yang viral selalu layak untuk dikonsumsi oleh khalayak?
Saya sering merenung, mengapa sebuah konten bisa
begitu cepat viral? Setelah mengamati dan mencoba menganalisisnya secara
sederhana, saya menyimpulkan bahwa konten viral cenderung mengandung unsur
emosi yang kuat—baik itu humor, kemarahan, kesedihan, atau kejutan. Orang-orang
terdorong untuk membagikan sesuatu ketika mereka merasa tersentuh, terhibur,
atau bahkan terganggu. Emosi itulah yang menjadi bahan bakar utama penyebaran
konten di media sosial. Dan karena penyebaran ini dilakukan secara horizontal
oleh pengguna biasa, bukan oleh institusi resmi, maka kontrol terhadap kualitas
dan kebenarannya menjadi sangat minim.
Yang saya sadari juga, media sosial menciptakan apa
yang saya sebut sebagai “ekonomi atensi” dimana perhatian menjadi komoditas.
Semakin banyak views, likes, dan shares, semakin besar kemungkinan konten
tersebut dimonetisasi atau mengangkat popularitas seseorang. Inilah yang
mendorong banyak orang berlomba-lomba membuat konten yang sensasional demi
menarik perhatian. Saya mengakui bahwa ini bisa menjadi ladang kreativitas,
namun sekaligus dapat mengaburkan batas antara yang benar dan yang viral.
Dari sisi positifnya, media sosial memberikan ruang
yang sangat luas untuk menyuarakan isu-isu penting yang sebelumnya mungkin
terabaikan. Contohnya, banyak kasus ketidakadilan atau peristiwa kemanusiaan
yang akhirnya mendapat perhatian publik karena viral di media sosial. Saya
melihat ini sebagai bentuk kekuatan rakyat untuk membentuk opini dan menekan
pihak-pihak berwenang. Konten yang viral bisa menjadi alat untuk perubahan
sosial, asalkan digunakan dengan niat dan informasi yang benar.
Namun, saya juga menyadari bahwa di sisi lain, media
sosial bisa menciptakan distorsi informasi yang luar biasa. Tidak sedikit hoaks
atau misinformasi yang menjadi viral karena disajikan secara emosional dan
meyakinkan. Saya pribadi pernah terkecoh oleh konten yang ternyata tidak sesuai
fakta. Pengalaman ini membuat saya belajar pentingnya verifikasi dan berpikir
kritis sebelum membagikan sesuatu. Sayangnya, tidak semua orang memiliki
kesadaran yang sama, dan inilah yang menjadikan media sosial sebagai medan yang
rawan untuk manipulasi informasi.
Yang juga menarik perhatian saya adalah bagaimana
media sosial membentuk persepsi kolektif. Ketika sebuah konten viral, ada
kecenderungan orang untuk mengikuti arus tanpa banyak bertanya. Ini menciptakan
fenomena "echo chamber" di mana kita hanya terpapar pada pendapat
yang kita sukai dan mengabaikan sudut pandang lain. Saya pribadi merasa ini
membatasi diskusi sehat dan memperkuat polarisasi di masyarakat. Konten viral
bisa memperkuat bias, alih-alih membangun pemahaman bersama.
Dalam konteks budaya, saya mengamati bagaimana konten
viral sering kali membentuk tren dan gaya hidup baru. Misalnya, istilah-istilah
gaul, gaya berpakaian, atau tantangan-tantangan unik yang kemudian diikuti oleh
jutaan orang. Ini menunjukkan kekuatan besar media sosial dalam membentuk
budaya populer, terutama di kalangan anak muda. Tapi saya juga bertanya-tanya,
apakah semua ini membentuk identitas yang otentik, atau justru menjadikan kita
terlalu tergantung pada validasi digital?
Saya percaya bahwa kecepatan penyebaran konten di
media sosial merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, kita bisa menyuarakan
hal-hal yang penting dengan sangat cepat. Tapi di sisi lain, jika tidak
disertai dengan tanggung jawab dan kesadaran digital, konten viral justru bisa
menyesatkan atau bahkan merugikan banyak pihak. Peran pengguna sangat penting
di sini. Saya merasa kita harus lebih bijak, tidak hanya sebagai konsumen
konten, tapi juga sebagai penyebar pesan.
1. Jurnalisme
Warga di Tabaos.id: Suara Lingkungan dari Timur yang Terpinggirkan
Sebagai warga negara yang peduli akan isu lingkungan
dan sekaligus pengamat perkembangan media digital, saya merasa terpanggil untuk
menyoroti bagaimana masyarakat di Indonesia Timur khususnya Maluku dan Papua mulai
mengambil alih peran penting dalam pelaporan lingkungan hidup melalui platform
citizen journalism seperti Tabaos.id. Dalam konteks ini, kita menyaksikan sebuah
fenomena yang mengagumkan: bagaimana suara-suara kecil dari pinggiran bisa
menggema melalui ruang digital, membawa isu penting yang selama ini sering
diabaikan media arus utama.
Tabaos.id menjadi oase bagi mereka yang tinggal di
daerah-daerah yang kerap terpinggirkan dari sorotan media besar. Ketika banjir
menerjang Hukurila atau aksi pencurian telur ikan terjadi di Laut Malra, kita
tidak akan mudah menemukannya di media nasional. Tapi berkat platform ini,
masyarakat bisa melaporkan kejadian tersebut langsung dari ponsel mereka.
Menurut saya, inilah inti sejati dari jurnalisme warga: memberikan akses,
kekuatan, dan wadah kepada masyarakat untuk menjadi pelapor atas kenyataan yang
mereka hadapi sehari-hari.
Saya menilai bahwa Tabaos.id tidak sekadar menampung
laporan warga, melainkan juga membentuk sebuah ekosistem partisipatif. Mereka
tidak membiarkan berita begitu saja ditayangkan tanpa proses verifikasi dan
kurasi. Di sini, proses editorial tetap ada. Ini penting untuk menjaga kualitas
dan akurasi, terutama dalam isu-isu lingkungan yang bisa menimbulkan dampak
luas. Namun yang paling menarik bagi saya adalah sistem keanggotaan yang
dibangun secara informal siapa pun yang aktif mengirim berita otomatis menjadi
bagian dari keluarga besar Tabaos.id. Ini bukan sekadar teknis pengelolaan
redaksi, melainkan juga bentuk nyata dari participatory culture.
Dalam enam contoh berita yang diteliti dalam jurnal
penelitian Vania Diah Cahyarani dan Doddy Iskandar (2021), terlihat jelas bahwa
ekspresi warga tidak hanya sebatas laporan kejadian, melainkan juga mengandung
muatan advokasi dan edukasi. Misalnya, berita tentang "Masyarakat Seram
Utara Pertanyakan Bagi Hasil Tanam Kelapa Sawit" bukan hanya laporan, tapi
juga protes kolektif terhadap ketidakjelasan distribusi ekonomi. Menurut saya,
ini adalah bentuk jurnalisme yang tidak netral secara pasif, tapi aktif
mendorong perubahan sosial.
Yang membuat saya semakin terkesan, Tabaos.id juga
menggandeng LSM dalam beberapa kasus, terutama saat dibutuhkan investigasi
lebih mendalam. Kolaborasi semacam ini menunjukkan bahwa media alternatif
seperti Tabaos.id tidak bekerja dalam isolasi, melainkan membuka ruang dialog
antara warga, aktivis, dan pemangku kepentingan. Pendekatan collaborative
problem solving ini sangat efektif, terutama dalam konteks isu lingkungan
yang sering kali kompleks dan menyangkut kepentingan banyak pihak.
Meskipun begitu, saya juga mencermati bahwa ekspresi
warga masih terbatas pada format teks dan foto. Di era digital yang serba
visual ini, potensi kreatif warga bisa lebih dieksplorasi lagi. Video singkat,
infografis, atau podcast lokal mungkin bisa menjadi format baru yang menarik
dan memperluas jangkauan audiens. Namun saya sadar, keterbatasan akses
teknologi di wilayah Timur Indonesia masih menjadi tantangan tersendiri. Dan di
sinilah peran media seperti Tabaos.id menjadi sangat penting bukan hanya
sebagai penyampai informasi, tapi juga sebagai pendamping dalam proses belajar
bermedia.
Fakta bahwa sebagian besar berita dikirim melalui
Facebook atau WhatsApp menurut saya juga menggambarkan bagaimana masyarakat
menyesuaikan diri dengan alat yang tersedia. Facebook bukan hanya platform
sosial, tetapi kini bertransformasi menjadi kanal jurnalisme warga. Ini
mencerminkan fleksibilitas dan kreativitas warga dalam menyampaikan informasi
meski dengan keterbatasan infrastruktur.
Saya memandang keberadaan Tabaos.id sebagai bukti
bahwa jurnalisme warga bukan tren sesaat, melainkan gerakan yang tumbuh dari
kebutuhan nyata. Ketika suara-suara dari Maluku atau Papua jarang diangkat oleh
media besar, Tabaos.id hadir untuk memberi panggung bagi mereka yang ingin
bersuara. Dalam konteks keadilan informasi, ini adalah langkah besar yang patut
diapresiasi.
Kita sering membayangkan jurnalis sebagai seseorang
dengan kamera canggih dan ID pers. Tapi kenyataannya, kini siapa pun bisa
menjadi jurnalis selama memiliki niat, empati, dan keberanian. Lewat Tabaos.id,
seorang warga biasa bisa menjadi penjaga hutan adat, pengawas tambang ilegal,
atau saksi bencana ekologis. Dan menurut saya, ini adalah wujud dari
demokratisasi informasi yang sejati.
Sebagai penutup, saya percaya bahwa model citizen
journalism yang diterapkan Tabaos.id layak dijadikan inspirasi untuk media di
wilayah lain. Isu lingkungan bukan hanya masalah lokal, tapi global. Ketika
masyarakat diberi ruang untuk bicara, bukan hanya berita yang tersebar, tapi
juga kesadaran. Dan dari kesadaran itulah, perubahan akan bermula.
Penulis : M. Rizky Setiawan
Garut, 27 Mei 2025
.png)

.png)
Komentar
Posting Komentar